Selamat datang di blognya Cak Rohman Mojokerto

"(ALLAH) YANG MENCIPTAKAN MATI DAN HIDUP UNTUK MENGUJI KAMU SIAPAKAH DIANTARA KAMU YANG PALING BAIK AMALNYA, ......"(Al-Mulk, 67:2)

18 Mei 2007

Sporter PSMP (semestinya)

Teologi bola untuk sportifitas
(Pesan untuk Suporter khususnya The Lasmojo (Laskar Mojopahit) PSMP)

Sepak bola dapat dikatakan sebagai olah raga paling banyak peminatnya di seluruh dunia. Di Indonesia antusias masyarakat dalam pertandingan ini bisa dibilang terbesar dibanding dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailan, bahkan Australia. Ramenya suporter tidak hanya dalam kelas begengsi seperti divisi utama, tapi divisi I, divisi II bahkan sampai tingkatan sepakbola antar RTpun menjadi tontonan yang mengasikkan. Tapi hampir sama dengan ramenya suporter, dihampir setiap pertandingan juga ada Rame (Ribut) antar suporter. Inilah yang menjadi bahasan masalah dalam tulisan ini.
Ust. Jefri Al-Bukhari dalam bukunya “Sekuntum mawar untuk remaja”, juga pernah membahas panjang tentang tema ini. Terima kasih padanya, karena dengan membaca tulisan beliau tulisan saya bisa berkembang dan lebih focus pada bahasan. Namun, saya sedikit berbeda perpektif dalam memandang bagimana Bolamania seharusnya, sebagaimana yang beliau tulis.

Arti fanatisme dan fanatisme seharusnya
Fanatisme dengan bahasa yang beda dapat juga dikatakan dengan “cinta dengan sangat” terhadap sesuatu, ya… sedikit mirip dengan “saya mohon dengan sangat” kata-kata dalam film Kiamat Sudah Dekat. Wah ..Sufi juga nich !.Dalam hal sepakbola, kecintaan ini biasa ditujukan kepada suatu tim atau klub sepakbola. Fanatisme biasanya bangkit dikarenakan ada petalian kedaerahan (primordialisme) sang suporter terhadap klubnya. Bonex terhadap Persebaya, The jack mania terhadap Persija, Aremania terhadap Arema, the lasmojo PSMP dan lain sebagainya. Kadang sering akibat dari fantisme ini, unsur yang paling penting dalam olahraga atau pertandingan yaitu Sportifitas ditinggalkan oleh mereka. Selesai sepakbola apalagi kekalahan dialami oleh tuan rumah, maka suporter tamu dijamin babak belur. Hal ini bukan kejadian baru atau sekedar insiden, tapi menjadi tradisi suporter Indonesia pada semua level pertandingan, bahkan sekelas negara maju seperti Inggris juga memberikan contoh melakukan tradisi jahiliyah ini.
Lantas, bagaimana seharusnya fanatisme?. Fanatisme sebagaimana digariskan oleh fitrah manusia yaitu mengarah kepada kebenaran. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs, 30:30). Kebenaran ini bukan sekedar kebenaran bertingkat atau kerelativan kebenaran, tapi merupakan kebenaran absolute atau sumber kebenaran (Baca:mencari kebenaran). Allah adalah sumber kebenaran itu, sehingga apapun yang dilakukan manusia adalah perbuatan yang paling benar menurut manusia dari referensi (ilmu) yang ia dapatkan. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa , bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya. (Qs, 2:165). Fanatisme yang benar dalam bahasa yang paling sederhana adalah “ikuti dan dukunglah mereka yang berbuat benar”.
Ada kata-kata bijak “ Jangan fanatic pada sesuatu kecuali pada kebenaran, jika hal ini kamu lakukan maka suatu saat kamu akan dikecewakan olehnya”. Seperti orang yang fanatic dengan pacarnya, mereka selalu mengatakan baik, memuji-muji dimana-mana tapi lupa bahwa dia juga punya bakat untuk salah atau punya kekurangan. Pasti, suatu saat dia dikecewakan oleh kekasihnya, maka jangan salah kalau yang ia lakukan atau yang ada dalam pikirannya saat itu justru 180 derajat berbeda dari sebelumnya. Apa gak malu..?. Demikian juga fanatic terhadap yang lain seperti klub, organisasi, golongan, asal sekolah, pangkat, jabatan, kekayaan dll. Semua akan berakhir dan tak bisa dibanggakan kecuali kualitas/kebenaran itu sendiri. Tapi cermatilah semua kebaikan yang tersebar di sana, dan berfanatiklah untuk kebenaran dan berbuat kebenaran lewat fasilitas siapapun dan apapun tersebut. Kalau Allah dan Rosulnya masak perlu di ragukan kebenarannya..?.
Sekarang, bagaimana mencintai klub, sehingga tidak mengingkari fitrah manusia?. Manusia akan lebih mencintai kepada siapa saja yang menempati posisi lebih dekat kepadanya. Tidak salah manusia lebih mencintai kepada keluarganya dibanding dengan keluarga orang lain, justru dibenarkan, maka tidak salah masyarakat lebih mencintai klub dari daerahnya dibanding dengan daerah lain. Ini bukan fitrah terdalam, tapi merupakan ekses dari fitrah. Sudah selayaknya mereka yang terdekat dengan kita, yang paling utama mendapatkan wujud kemanfaatan kita dari pada mereka yang jauh.
Alquran juga beberapa kali mencontohkan ketika beramal, yang lebih utama kita makmurkan adalah sanak kerabat, baru kemudian menjangkau anak yatim, fakir dan miskin, dst (Qs, 2:83), (Qs,2:177), (Qs, 2:215), (Qs, 4:36). Ini mengindikasikan bahwa setiap manusia bertugas untuk mengembangkan kebaikan kepada orang terdekat yang dimiliki, jelas bukan dengan maksud melupakan keberadaan mereka yang jauh tapi lebih membutuhkan, tetapi merupakan skala prioritas dalam berbuat kebaikan demi mensistematiskan, efisiensi dan efektifitas juga tidak mengakibatkan ketimpangan sosial. Ibarat batu yang dilemparkan di atas air, maka gelombang yang akan timbul berawal dari benturan batu pertama dengan air, baru kemudian melebar dan semakin melebar sampai habis kemampuan batu tersebut membuat gelombang. Jika semakin banyak batu yang dilemparkan merata diseluruh permukaan air, maka semua air mendapat bagian untuk merasakan goyangan gelombang tersebut. Enak nich goyang terus!
Dimanapun orang mukmin singgah, disanalah mereka menjadi penggerak kebaikan (khalifah fil ardh). Maka, tidak salah jika mendukung klub asal daerahnya, karena setiap orang juga menginginkan yang terbaik bagi diri dan lingkungan sekitarnya. Siapa yang tidak ingin tetangganya menjadi baik, termasuk dalam hal kualitas bermain sepakbola?. Siapa yang tidak bangga kalau klub daerahnya dapat bermain indah?.
Supoter yang fanatic (yang benar), akan mendukung klub daerahnya, bukan untuk fanatisme buta, tapi demi kebaikan. Kalau anarkisme kemudian klub dikenakan sangsi seperti denda, degradasi, tidak main dikandang, main tanpa supporter, bahkan dilarang main, apa ini wujud kefanatikan terhadap klub?. Klub kesayangan akan didukung terus untuk mencapai kualitas demi kualitas semakin hari semakin bertambah. Tapi, tetap konsisten pada fitrah manusia, mendukung bukan untuk kejelekan. Permainan sportif, indah, dan semangat yang tinggi akan diberikan dukungan, tapi jika permainan sebaliknya yang pertontonkan, maka tidak ada ke-fanatikan supporter untuk klub tersebut. Kefanatikan berubah menjadi kritik dan saran atau upaya-upaya untuk menjadikan klub lebih baik.
Fanatisme kebenaran mengandung makna keadilan. Seorang bapak yang bijak pernah mengatakan, kalau saja anaknya melakukan pencurian, maka hukuman potong tangan akan diberlakukan baginya, semata demi keadilan. Tidak ada pilih kasih dalam memandang kualitas pertandingan, inilah yang dinamakan sportifitas. Sehingga sportifitas mendekatkan pada ketakwaan (Qs, 5:8).
Bagimana perilaku suporter dalam lapangan pertandingan?. Ekspresi boleh beda tapi tetap duduk bersama. Sungguh indah seandainya dua warna kaos kedua tim tersebar merata menduduki setiap sudut podium yang ada, tanpa harus bingung ambil posisi karena takut dipukuli. Waduh .. enak donk, bisa kenalan dengan supporter lawan (Qs, 49:13). Kita mengatakan “Aa…h”, tapi disamping kita mengatakan “huuu…!”, kita sedang menepuk kepala “Aduh” , tapi yang sebelah sedang mengangkat tangannya “yes!”. Disaat hasil akhir kekalahan yang menimpa, maka terimalah kebenaran bahwa klub yang kita dukung dalam kekalahan dan klub lawan ternyata mempunyai kelebihan karena bisa mengalahkan klub kita. Dengan penuh semangat, optimisme dan antusias, terus mendukung klub daerahnya untuk tampil lebih baik.
Semua duduk manis melihat pertandingan, memberikan apresiasi kepada siapapun yang dapat menyajikan keindahan (tepuk tangan) dan memperingatkan “sorak : huuuu…! “, kepada mereka yang menyalahi aturan. Sehingga factor terbesar kemenangan ditentukan oleh kondisi kualitas bukan kondisi psikologi.Semakin kecil kemungkinan jago kandang, tapi pemain semakin termotivasi melakukan yang terbaik. Pemain juga akan berhati-hati untuk melakukan kesalahan apalagi tindakan tercela yang jelas tidak disukai oleh semua penonton, bukan hanya team dan suporter lawan. Kalau saja sejak dulu konsep semua suporter mendukung dengan kerangka ini, mungkin klub-klub di Indonesia semakin berkualitas, dan bisa jadi Indonesi peraih juara dunia sepakbola. Yang ini… hebat atau mustahil ya..?.
Tidak perlu dicontoh mereka yang berbuat salah dalam sepakbola. Main Sepakbola aja curang!. Jangan seperti rasisme suporter spanyol (lihat: Qs, 49:13), anarkhisme Hooligans Inggris ( baca: fasad), kecurangan klub-klub dalam pengaturan skor seperti yang terjadi pada Juventus (Qs, 83:1), jangan menjadi Terorisme bagi pemakai jalan, toko-toko dipinggir jalan semua tutup dll. Jelas teroris koq bangga!. Contohlah yang baik, di Eropa menonton duduk bersama antar suporter, memberikan apresiasi yang sportif, semuanya bayar karcis, menonton tanpa pengawasan ketat dari ribuan tim keamanan. ini baru bukan teroris!. Jangan datang melihat permainan tapi justru membuat permainan sendiri dengan tawuran antar suporter apalagi lawan aparat. Gak gaul.!
Hati-hati, jangan nonton sepakbola ketika sedang sakit!. Sakit fisik atau biasa yang banyak hadir adalah orang-orang yang sakit hatinya. Karena sakit akan menyebabkan kerusakan. Bisa jadi kerusakan diri dan kerusakan pertandingan, stadion, dll, mesti dalam keadaan sadar atau tidak sadar melakukan karena terpengaruh oleh yang lain. Tetaplah menonton ketika hati, penglihatan, pendengaran tidak dalam keadaan terkunci mati. Siap memberikan apresiasi yang baik pada permaian, dan siap menerima apapun yang terjadi dalam pertandingan.
Dengan seperti ini, tentu siapapun yang terlibat dalam sepakbola akan berpikir ulang tentang ide-ide kecurangan yang ia lakukan. Supporter adalah asset besar dalam pengembangan sepakbola. Mereka tidak bisa mengesampingkan penilaian-penilain yang dilakukan oleh suporter terhadap klub. Baik pemda, usahawan, sponsor sebagai pengemban dana, akan berpikir lebih jernih potensi dan arah pengembangan yang ada pada klub tersebut. Ini saatnya suporter tidak hanya ikut rame-rame apalagi membuat rame sendiri, tapi berperan merangkap menjadi penyandang dana, manager, pelatih dan sekaligus pemain spiritual pada suatu klub. Indah bukan, kalau suporternya adalah orang-orang Islam yang beriman?. Ingat! Jangan dikatakan konsep ini tidak dapat dilaksanakan!. Biar supporter sepakbola, tapi tetep beriman. Wallahu ‘alam. Hidup The Lasmojo (Laskar Mojopahit)!. Sebenarnya aku tidak sepakat dengan julukan The lasmojo, tapi nanti aja dulu tentang ganti usulan nama baru, pada tulisan selanjutnya beserta alasan dan paradigma barunya. See u



1 komentar:

andy mengatakan...

mp mengecewakan

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Belajar Bisnis Internet

 

Pengikut

Komentar Terbaru