Sudah puluhan bahkan ratusan tahun lamanya perdebatan mengenai perhitungan penentuan awal bulan pada bulan hijriyah (ru’yah dan hisab) masih seru dibahas. Terlebih pada penentuan awal bulan syawal (idul fitri) atau idul adha yang berkaitan dengan hari raya umat islam. Khususnya bagi umat islam, setidaknya harus paham mengenai kenapa perbedaan ini harus terjadi..?. karena nikmat dari perbedaan bukan pada pertenkaran tapi keberagaman.
Sumber Perbedaan
Idul Fitri merupakan persoalan syar'i yang menyangkut ibadah mahdlah. Idul Fitri merupakan batas waktu yang menandai berakhirnya bulan Ramadan. Karena itu, Idul Fitri bukan merupakan tradisi dan kebudayaan masyarakat tertentu.
Idul fitri adalah tanda berakhirnya bulan ramadhan dan memasuki bulan baru yaitu bulan Syawal. Sehingga mengakhiri puasa ramadhan hukumnya wajib bila telah memasuki bulan syawal. Oleh karena itu, persoalnnya bukan pada sholat idul fitri tapi idul fitri itu sendiri. Idul fitri (mengakhiri puasa ramadhan) adalah wajib sedangkan sholat idul fitri hukumnya sunnah muakkad. Melaksanakan puasa pada tanggal 1 syawal hukumnya haram karena termasuk hari tasyrik. Hal inilah yang menyebabkan suatu keyakinan masing-masing tidak dapat dikompromikan, karena menyangkut hukum wajib atau haram dari ketentuan yang diikuti oleh setiap muslim.
Kenapa berbeda..?
Perlu diketahui adanya perbedaan dalam penentuan Idul Fitri tidak disebabkan oleh sumber ajaran yang berbeda. Perbedaan itu terjadi semata-mata karena faktor ijtihad yang bersumber ada perbedaan di dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dalam hal ini, terdapat dua kelompok besar yaitu kelompok rukyah dan kelompok hisab.
Kedua kelompok mendasarkan pendapatnya pada ayat Alquran dan hadis yang sama, Surat Al-Baqarah (2: 185) menyebutkan agar umat Islam menyempurnakan hitungan bulan Ramadan dan mengagungkan asma Allah di hari raya.
“bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda . Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan , maka , sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (2:185)
Dan juga hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: "Janganlah kamu mempercepat awal bulan Ramadan walaupun hanya satu atau dua hari. Jika kamu telah sepakat dengan datangnya bulan itu, maka berpuasalah. Berpuasalah kamu ketika melihat hilal (awal bulan Ramadan). Berbukalah kamu ketika melihat hilal (awal bulan Syawal). Jika langit tertutup mendung dan kamu tidak melihat bulan, maka sempurnakanlah bilangan Ramadan (30 hari). Setelah itu berbukalah."
Terjadinya Perbedaan
Sumber perbedaan pendapat adalah dalam memahami kata "ru'yah" di dalam hadis " ... shumu li ru'yatihi wa althiru li ru'yatihi ..." (Berpuasalah kamu ketika melihat hilal (awal bulan Ramadan). Berbukalah kamu ketika melihat hilal (awal bulan Syawal).
Pendapat pertama, kelompok rukyah berpendapat yang dimaksud dengan kata “ru’yah” adalah melihat hilal secara fisik (ru'yah bil fi'li).
Pendapat ini didasarkan kepada dua alasan. Pertama, Rasulullah dan para sahabat selalu melihat hilal untuk menentukan awal dan akhir Ramadan. Kedua, adanya indikasi bahwa jika hilal tidak terlihat - karena mendung - maka hitungan bulan Sya’ban dan Ramadan harus disempurnakan (30 hari), sebagaimana hadist yang disebutkan di atas.
Sedangkan Pendapat kedua, yaitu kelompok hisab menafsirkan "ru’yah" dengan ru'yah bil 'ilmi (melihat dengan ilmu). Pendapat kelompok ini didasarkan atas tiga hal. Pertama, ayat Alquran surat Yunus (10:5)
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.” (Yunus, 10:5)
Dalam ayat tersebut menganjurkan kepada umat Islam mempelajari peredaran matahari dan bulan sebagai dasar penghitungan waktu dan tahun (li'ta'lamu 'adad al sinina wa al hisab). Ayat inilah yang menjadi pijakan lahirnya Ilmu Hisab (Falaq). Ilmu ini digunakan secara sangat luas untuk menentukan waktu salat dan kalender Hijriyah, awal akhir bulan, hari raya (Idul Fitri - Idul Adha), wukuf di Arafah dan ibadah lainnya.
Kedua, tradisi melihat hilal yang dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat hanyalah merupakan "cara" yang dilakukan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, umat Islam bisa menggunakan "cara" lain yang diisyaratkan oleh Alquran. Di antaranya dengan cara ilmiah melalui penghitungan Falaq/ Hisab/Perhitungan. Ilmu ini baru berkembang pada masa Bani Abbasiyah (abad ke-8 M). Pada masa Rasulullah belum ditemukan alat teropong bintang dan belum berkembang ilmu falaq/ astronomi (Armahedi Mahzar dan Yuliani Liputo, 2002: 249).
Ketiga, kelompok hisab berpendapat awal dan akhir bulan tidak ditentukan oleh beberapa derajat ketinggian hilal. Jika berdasarkan penghitungan hisab hilal sudah nampak, berapa pun ketinggiannya, maka hitungan bulan baru sudah masuk.
Karena itu, jika hilal bulan Syawal sudah masuk maka sudah saatnya Idul Fitri. Sedangkan kelompok rukyah berkeyakinan jika posisi hilal sangat rendah, dia tidak bisa di-ru’yah atau terlihat dengan mata telanjang. Karena itu hitungan Ramadan harus disempurnakan (istikmal) 30 hari. Di sinilah sumber perbedaan penentuan Idul Fitri.
Masalah NU dan Muhammadiyah
Di indonesia dua ormas Islam inilah yang tercatat (mengklaim) memiliki umat terbesar. Tapi mengenai ru’yah dan hisab dua metode ini juga dipakai oleh berbagai ormas yang lain selain kedua tersebut. seperti Persis (Persatuan Islam) juga memakai metode hisab saja seperti yang dilakukan Muhammadiyah, demikian juga dengan yang lain.
Muhammadiyah melalui keputusan Majelis Tarjihnya berpendapat bahwa Muhamadiyah berpegang pada wujud (adanya) bulan. Artinya, kalau menurut perhitungan hisab, bulan sudah berwujud (beberapa derajat di atas ufuk) maka besoknya adalah lebaran. Muhammadiyah tidak mempersoalkan apakah wujud bulan tersebut bisa diru'yah atau tidak.
Namun lain halnya dengan NU. Meskipun juga menggunakan hisab, tapi kedudukannya hanya sebagai pembantu saja, NU tidak peduli pada data-data hasil hisab dan ru’yah adalah sebagai penentu keputusan. Mereka tetap berpegang pada patokan ru'yah. Jadi, kalau dalam pengamatan tidak bisa dilihat maka bulan ramadhan diistikmalkan (digenapkan) menjadi 30 hari, sehingga Ramadhan jatuh pada hari berikutnya. Kalau bulan ternyata bisa dilihat, maka
lebaran dapat diputuskan di hari yang ke-29.
Posisi MUI dan Depag
Posisi MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) mewakili ulama’ Indonesia, dan Depag (departemen agama) mewakili pemerintah. Posisi MUI dan Depag adalah menggabungkan metode ru’yah dan hisab. MUI akhir-akhir ini justru memberi kebebasan/pembebasan pada umat untuk melaksanakan kapan hari raya idul fitri menurut keyakinannya. Sedang Depag di bawah kepemimpinan Menteri Agama memberi keputusan resmi denga pertimbangan dari ulama’-ulama’ yang ada. Mesti bebarapa tahun terakhir ini ada banyak kritikan terhadap pemerintah yang menyatakan bahwa sebenarnya pemerintah tidak berhak untuk turut campur dalam membuat keputusan jatuhnya hari raya, dalam hal ini seharusnya diserahkan sepenuhnya pada masing-masing umat islam untuk melaksanakannya atas dasar keyakinannya masing-masing. Sehingga hasil pengamatan MUI dan Depag (pemerintah) Boleh jadi, bulan sudah berwujud, namun harus dilihat apakah posisi bulan tersebut imkanur ru'yah (mungkin dilihat atau tidak).
Ahli hisab mengatakan bahwa kemungkinan untuk melihat bulan itu adalah pada posisi sekitar 4 derajat di atas ufuk.Jelas mustahil melihat bulan yang sudah wujud itu pada posisi satu derajat atau dua derajat di atas ufuk. Yaitu posisi hilal kurang dari 4 derajat. Kalau ada pihak yang mengaku melihat bulan pada posisi dibawah empat derajat diatas ufuk, maka kesaksian itu harus ditolak karena kemustahilannya.
Manikmati Perbedaan
Perbedaan di kalangan umat muslim wajar terjadi. Hal ini tidak hanya terjadi pada umat muslim Indonesia saja. Di Australia misalnya, ada yang mengikuti Idul Fitri sesuai dengan negri asalnya.
Komunitas Turki di Australia menetapkan Idul Fitri berdasarkan keputusan mufti pemerintah. Waktu pelaksanaan salat Id berbeda di antara beberapa komunitas.
Sumber perbedaan penentuan Idul Fitri sesungguhnya sudah jelas. Masing-masing pihak mengetahui dan menyadari adanya perbedaan tersebut. Melakukan simplitikasi terhadap perbedaan adalah sesuatu yang tidak bijak. Perbedaan Idul Fitri bukan semata-mata menyangkut aspek rasionalitas sebuah pendapat tetapi menyentuh aspek keyakinan. Karena itu, upaya menyamakan atau menyatukan pelaksanaannya akan sia-sia.
Sikap yang perlu dikembangkan adalah saling menghormati. Memang klasik. Tetapi, perbedaan pendapat adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari di dalam Fiqhul Ikhtilaf, Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan sah, tetapi tafarruq (perpecahan) sangat dilarang. Di sinilah terletak pentingnya toleransi.
Toleransi meliputi tiga langkah. Pertama, pengetahuan dan kesadaran akan adanya perbedaan. Hal ini membutuhkan kemampuan melihat perbedaan dan sumber perbedaan antara satu kelompok dengan yang lainnya.
Kedua, menghormati mereka yang berbeda pendapat dan memberi kesempatan kepada mereka untuk melaksanakan keyakinan dengan aman. Diperlukan ruang publik yang memungkinkan terjadinya dialog terbuka dan saling menghormati. Di sini komunikasi antariman juga sangat diperlukan.
Ketiga, menerima perbedaan sebagai realitas kehidupan masyarakat plural. Sikap ini tidak berarti mencampuradukkan keyakinan satu dengan yang lainnya. Diperlukan empati dan simpati kepada mereka yang berbeda.
Dengan prinsip ini tidak perlu ada perasaan menang-kalah atau benar-salah. Dalam hubungannya dengan keyakinan, kebenaran tidak selalu ditentukan oleh kehendak mayoritas. Kalaupun pemerintah menetapkan Idul Fitri yang berbeda dengan sebagian umat, keputusan itu harus diletakkan dalam konteks politik kenegaraan.
Keputusan pemerintah berkaitan erat dengan hari libur nasional bukan pada subtansi pemahaman dan keyakinan pelaksanaan idul fitri, yang mengikat seluruh masyarakat, tidak hanya umat Islam yang merayakan Idul Fitri. Secara konstitusional pemerintah berkewajiban untuk menjamin kebebasan beribadah, melindungi dan melayani semaksimal mungkin sehingga setiap warga negara merasakan nikmatnya beribadah.
Perbedaan Idul Fitri merupakan "nikmat" seluruh bangsa Indonesia. Karena perbedaan itu, hari libur menjadi lebih panjang. Bagi yang tidak merayakan Idul Fitri, mereka memiliki waktu yang lebih lama bersama-sama dengan keluarga. Yang merayakan lebih awal, bisa menikmati damainya Idul Fitri dan rangkaian ibadah di dalamnya. Yang merayakan kemudian, bisa menikmati kesempurnaan ibadah puasa dengan hitungan yang sempurna.
NB: Tulisan ini sudah dipublikasikan di (mojokerto blog) sejak 4 tahun silam. Untuk itu Cak Rohman Mohon maaf atas segala kekurangan informasi ini. Sengaja saya publikasikan ulang demi berbagi ilmu tentang masalah yang selama ini masih banyak diperdebatkan oleh orang yang sebenarnya (maaf) kurang memahami, tapi bagi yang sudah paham mereka justru tidak terlalu mempersoalkan.
Sumber: macam2 maaf agak lupa kerena ini tulisan koleksi dulu
Keyboard Laptop HP 14-Bw, BS
2 tahun yang lalu